Monday, May 15, 2017

KH.Hasyim asi'ari


Kyai Haji Mohammad Hasyim Asy’ari, atau sering dieja Asy’ari,
lahir 10 April 1875 (24 Dzulqaidah 1287H) dan wafat pada 25 Juli 1947; dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang,
   Beliu adalah pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia hingga saat ini.
          Riwayat Keluarga KH Hasyim Asy’ari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Kyai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang.
Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Hasyim merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang). Hasyim adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Namun keluarga Hasyim adalah keluarga Kyai. Kakeknya, Kyai Utsman memimpin Pesantren Nggedang, sebelah utara Jombang. Sedangkan ayahnya sendiri, Kyai Asy’ari, memimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Dua orang inilah yang menanamkan nilai dan dasar-dasar Islam secara kokoh kepada Hasyim.
Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan KH Hasyim Ashari memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain.
   Di antara pesantren yang pernah beliu datangi untuk menimba ilmu ialah.
1.pesantren wonokoyo,probolinggo
Kemudian beliu pindah lagi ke 2.pesantren langitan Tuban,lalu pindah lagi ke 3.pesantren trenggilis,semarang,,dan ke pesantren kademangan bangkalan Madura di bawah asuhan kh.cholil.
Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kyai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun– Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu.
    Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kyai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal. Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi..
Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Kyai Hasyim bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses.Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.
 Tahun 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870.
Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal. Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai.
Kyai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.
Setelah dua tahun membangun Tebuireng, Kyai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang menggembirakan. Kyai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun.
Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf.
Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.
         
        Pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kyai dari Madura ini populer dipanggil. Kyai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.”
Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya. Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kyai Hasyim juga Kyai Cholil adalah kemuliaan akhlak.Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita. Mbah Cholil adalah Kyai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.

Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk.

Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam. Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kyai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas.

KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kyai Hasyim. Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa.

Friday, May 12, 2017

KH.Gholib PAHLAWAN LAMPUNG


Kh.Gholib siapa siih yang nggak kenal dengan beliu....... untuk wilayah pringsewu lampung selatan,dengan semua jasa-jasa dan perjuangan beliu lah yang mengharumkan nama beliu hingga kini.
    Sampai nama beliu di abadikan dengan nama jalan,nama pesantren,nama sekolah.
Makam beliu berletak di Jl. Makam KH. Ghalib No.17, Pringsewu Utara, Kec. Pringsewu, Kabupaten Pringsewu, Lampung 35373, Indonesia.

Hingga sekarang makamnya masih ramai didatangi peziarah dari seputar Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, Jakarta, Bandung, Bogor, Jawa, dan Madura. 
Semua bermula dari semangat beliu melawan penjajah.
  Dalam sebuah kisah cerita perjalanan hidup beliu kh.Gholib sangat tidak senang dengan kedatangan jepang dan belanda. Pada masa sebelum, bahkan pascakemerdekaan pun, dia tidak henti mengangkat senapan, bergumul dalam peperangan sengit, seraya berjihad hidup-mati bersama kerabat dan seluruh santrinya mengusir penjajah di wilayah Pringsewu dan sekitarnya. Kemarahan kh. Gholib kepada Jepang dimulai dengan perjuangannya menentang program sei kerie tahun 1942. Bagi lelaki kelahiran 1899 di Kampung Mojosantren, Krian, Jawa Timur, ini (ayahnya bernama K. Rohani bin Nursihan dan ibu Muksiti) tindakan Jepang sudah menindas, menyiksa, dan memeras.
      K.H. Gholib segera menyiagakan pasukan mengusir Jepang dari tanah Bamboo Seribu (sekarang Pringsewu). Walaupun dengan pedang, golok, keris, dan bambu runcing seadanya, mereka tidak lelah menggempur basis-basis Jepang di sana. 
Gholib berkali-kali ditangkap militer jepang.Jepang khawatir pria ganteng-gagah, tangkas, berkulit hitam manis, dan bermisai meruncing ke atas bibirnya ini memengaruhi para kiai; apalagi kh. Gholib menggalang opini menolak ajakan Jepang menyembah Dewa Matahari (Tenno Heika, Kaisar Hirohito). Untung Jepang tidak lama berkuasa karena bertekuk lutut kepada sekutu. Namun, bukan berarti penjajah hapus seluruhnya.
Negara memang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Tapi Belanda tidak mengakui kedaulatan kita, bahkan ingin menguasai kembali Indonesia. Belanda kemudian menggempur pertahanan Indonesia di mana-mana. Gholib kembali menyiagakan senjata demi mempertahankan kemerdekaan RI. Dia membentuk pasukan jihad: Pasukan Sabillah Hisbullah yang diambil dari anak-anak didiknya lalu dididik TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan BKR (Badan Keamanan Rakyat). Mereka berlatih cara berperang dan diajar Mayor Inf. Herni, Mayor Inf. Mulkan, K.H. Gholib, dan Mayor Inf. Nurdin. Pasukan Fisabillah dan Laskar Hisbullah (TKR/BKR) bertahan di Pringsewu dari 1 November 1945 sampai 7 Agustus 1946.
Sewaktu Agresi Belanda II 1949, Lampung didarati Belanda melalui Pelabuhan Panjang pada 1 Januari. Pemerintah bersama TRI (Tentara Republik Indonesia) mengungsi ke pedalaman Gedongtataan, Gadingrejo, Pringsewu, Kedondong, dan tempat-tempat lain.
Di Gadingrejo dibentuk pemerintahan darurat dengan residennya Mr. Gele Harun dan wakilnya M. Yasin. Di Pringsewu, basis TRI ditempatkan di pesantren K.H. Gholib dengan tokoh-tokohnya seperti
Kapten Alamsyah (pernah menjadi dubes RI di Belanda) dan Mayor Effendy. Untuk mengganyang Belanda--melalui musyawarah para tokoh--K.H. Gholib ditetapkan sebagai pemimpin pasukan gerilya.
Pada 8 Agustus 1947--20 Oktober 1948, pecah pertempuran di front Baturaja dan Martapura. Pasukan Sabillah dan Laskar Hisbullah dipimpin Gholib dan Kapten Alamsyah Ratuperwiranegara (mantan Menteri Agama dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat era Orde Baru) bertarung seperti banteng luka.
Di Martapura, perang hebat tidak terelakkan. Banyak korban tewas, di pihak Belanda maupun Gholib. Mereka yang selamat di antaranya Mayor Herni, Sukardi, Mayor Nurdin, Sukemi, Mayor Mulkan, Supardi, Abdul Fatah, Silur, Irsan, Suparno, Suwarno, Mardasam, Harun, Hasan, dan Husen. Tanggal 27 November 1949, terjadi perundingan clash order antara delegasi tentara Belanda dan delegasi RI/TNI di Kotabumi, Lampung Utara. Yang hadir: Mayor K.L. Graaf von Renzouw, Mayor Inf. H.N.S. Effendi, Kapten A.L. Shohoka, Kapten Inf. Hamdani, dan Letnan Husen.
Usai "perundingan damai" itu, mereka kembali lagi ke Pringsewu. Belum sempat Gholib duduk di rumahnya, ia mendapat berita Belanda datang kembali ke Tanjungkarang, bahkan sudah masuk Gadingrejo. Gholib cepat mengatur siasat pasukan. Mereka menghancurkan Jembatan Bulok. Belanda tidak kehabisan akal. Mereka memutar lewat Gedongtataan, Kedondong, terus ke Pagelaran, dan dari pesawat diterjunkan pasukan udara dan hujan peluru untuk menghancurkan tempat-tempat persembunyian para pejuang kita
Melihat keadaan sudah tidak aman, Gholib dan pasukan menyeberang ke utara Sungai Way Sekampung, lalu mengungsi ke hutan rimba. Selama Gholib bersembunyi, selama itu pula Belanda merusak dan menghancurkan harta pesantren Gholib seperti rumah, 16 mobil, pabrik tapioka, poliklinik, pasar, pabrik tenun, pabrik padi, rotan, dan kolam renang. 
Sebagian pesantren dibakar, sebagian lagi peralatannya dipindahkan ke tengah pasar Pringsewu kemudian dijadikan rumah makan antek-antek Belanda, dua bus roda enam juga dibawa, termasuk peralatan lain-lain yang tidak terdata. Bahkan, yang tidak mau memberi tahu persembunyian Ghalib dibunuh seperti Ustaz K.H.T. Nuh (karena dianggap sebagai Ghalib), dan tewas seketika. 
Gholib terus mengungsi dan hidup berpindah-pindah. Di sebuah desa, dia sakit, lumpuh, lalu bersiap pulang. Kabar kembali ini cepat terdengar Belanda yang tetap bernafsu menghabisinya. Saat perundingan Belanda-TNI 27 November 1949 di Kotabumi, Belanda memerintahkan polisi federalnya memanggil Gholib untuk perundingan. Tapi Macan Loreng, pasukan khusus kaki tangan penjajah saat itu, berkeras agar Gholib ditahan.

Selama di pengungsian Gholib sekeluarga cemas memikirkan nasib warganya di Pringsewu. Gholib pulang dan berniat salat idulfitri. Beberapa hari kemudian datang utusan Belanda. Gholib disergap Macan Loreng, kemudian dibawa ~ke Gereja Katholik Pringsewu, yang saat dipakai sebagai markas tentara Belanda.
Gholib ditahan 15 hari dan dibebaskan saat persetujuan gencetan senjata tinggal tiga hari diumumkan, malam Kamis Legi, 6 November 1949 (16 Syawal 1968 H). Pukul satu dini hari Gholib meninggalkan penjara, lalu berjalan pulang. Tapi baru 10 meter dia melangkah dari rumah tahanan, K.H. Gholib ditembak dari belakang. Dia gugur seketika.

    Dan sejak kecil, kh.Gholib tidak lagi mengenal ayahnya yang mengembara entah ke mana; kecuali sempat memberi uang seringgit sesaat sebelum Gholib dikhitan.
Sejak usia 7 tahun, sang ibu menyerahkan Gholib kepada Kiai Ali untuk belajar ilmu agama, lalu berguru dengan tokoh amat berpengaruh, pendiri Nahdlatul Ulama, K.H. Hasyim Asy'ari, di Pondok Pesantren Tebu Ireng, dan K.H. Kholil di Bangkalan Madura.
Sejak remaja, Gholib senang mengembara menuntut ilmu agama Islam. Ia tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu yang berhubungan dengan masalah ubudiah. Ilmu hikmah pun dipelajarinya, dari pesantren ke pesantren; dari satu guru ke guru lainnya. 
Kebiasaan ini tetap dilakukan hingga dewasa sembari mengembangkan syiar Islam. Saat dewasa, Gholib menikahi Syiah'iyah. Namun, sampai akhir hayat beliau tidak punya keturunan, kecuali tiga anak angkat: Jamzali, Siti Romlah, dan Rubaiyah. 

Berikut Setelah membaca cerita dan perjuangan ulama di atas,semoga kita semua bisa mengambil hikmah dari perjalanan ulama tersebut,betapa besar nya pengorbanan beliu,sampai menjadi sekarang ini,mungkin tanpa jasa beliu pringsewu lampung tidak akan seperti sekarang ini,bersyukurlah untuk kita yang tinggal meneruskan perjuangan mensyiar kan agama islam.
Dan semoga kita bisa meneruskan perjuangan beliu,dan kelak akan di kumpulkan bersama beliu....dan para ulama lain nya
Amin allahumma Amin.

Thursday, May 11, 2017

SYAIKHUNA M.JAMALUDDIN AL BUSTOMI



Beliu adalaha seorang Ulama lampung tengah dan pengasuh Ponpes ROUDLOTUS SHOLIHIN.
Tapi Sayang nya sekarang beliu sudah di panggil ALLAH SWT.
Pada tanggal 8 juni 2014,
Dan pada hari itu semua warga muslim merasa sangat kehilangan,
Sosok teladan yang beliu miliki dan beliu ajarkan sampai hari ini insya allah msih slalu terkenang Untuk diamal kan...
Sebagai wujud sam'an wa tho'atan..
Namanya...jasanya...smua kn tetap terkenang...
Ke'aliman nya yg tak pernah diragukan..
Kearifan...kesantunan yg beliau ajarkan....
Kesederhanaan yg selalu beliau contohkan...
Smua adalah bentuk pembelajaran...


Wahai GURU .....
SYAIKHUNA M.JAMALUDDIN AL BUSTOMI....
semoga engkau tenang disana...
Semoga engkau mndpat tmpat nan indah dan mulia....
Bersama para kekasih Alloh SWT....
Maaf kan kami murid2mu.....
Jika kami belum bisa membalas jasa2mu....
Blum bisa menjalankan smua bimbinganmu....
Semoga kami bisa mengikuti teladanmu....
Mnjadi manusia yg slalu berjalan pada jalan syari'at yg diridloi....
Sesuai jalan yg telah engkau tunjukkan pada kami...
Maafkan kami murid2mu...
Yg mungkin tak bisa sowan saat penghormatan pemakaman mu....
Tapi..kami mendo'akanmu dari kejauhan....
Dan semoga kelak kami bisa berkumpul bersamamu....
اللهم اغفرله وارحمه وعافه واعف عنه...
آمين يا رب العالمين.......